Selasa, 04 Agustus 2015

[Cerpen] Bintang


Bintang
by Umu Humairo

            Senja temaran di musim semi menyapa waktuku. Aku kini tengah duduk termenung dengan khayalan yang tak menentu. Hanya karena aku merasa… ada yang kurang dari diriku jika mengingat masa sekolah SMA ku. Pikiranku melayang ke masa lalu. Entahlah, aku merasa aku merindukan dia. Cowok manis yang sangat baik pada semua orang. Tetapi, entah mengapa aku tak bisa mendekatinya. Aku takut.
            Semua yang aku lakukan saat itu, mengingatkanku betapa aku menjadi orang yang bodoh. Menyukai kakak kelas yang tak mungkin mengenal siapa diriku. Tetapi aku berusaha, mengetahui namanya dari teman-temanku. Rasanya begitu menyenangkan. Marcus, nama yang bagus menurutku.
            Aku selalu merindukannya bagai bintang. Karena setiap bintang tak ada, maka sosoknya pun menghilang. Aku ingin… dia selalu ada di langit malamku. Aku ingin dia tetap menemaniku walaupun kita terpisah oleh waktu dan jarak. Terakhir kali yang aku ingat, aku memberanikan diri menghampirinya di pesta kelulusan di sekolah. Ia terkaget melihatku, dan aku… menunduk malu.
            Aku benar-benar ingat. Apa yang terjadi waktu itu.

******

            Waktu sudah senja. Pesta kelulusan yang di hadiri siswa/siswi kelas satu sampai tiga semakin sepi. Banyak siswa/siswi yang memutuskan pulang ke rumah. Mungkin karena lelah. Aku sendiri, duduk terdiam di bangku taman sekolah. Mendongak memandang langit yang sewarna jingga, meneliti apa yang ada di dalamnya.
            Pikiranku melayang.
Kak Marcus… sebentar lagi aku tidak akan melihatnya,” batinku mulai resah.

Berbagai keinginan melalu-lalang di dalam pikiranku. Aku berniat menemuinya, setidaknya mengucapkan selamat atas kelulusannya tapi aku… takut. Ia tidak mengenalku. Ia tidak pernah tahu siapa aku. Aku bingung harus bagaimana, mengapa kisah cinta pertamaku sesulit ini?
Namun dengan keberanian aku beranjak dari dudukku, mencari keberadaannya yang ternyata ia kini tengah bercengkerama dengan teman-temannya, di dekat parkiran mobil. Mungkin ia ingin pulang.
Aku berjalan mendekatinya dengan rasa takut tetapi juga terselip rasa yakin juga ingin. Sampai akhirnya aku berdiri tepat di depannya. Aku masih menunduk. Meremas-remas erat pita gaun ku. Aku bisa melihat ia mengernyit melihatku. Lalu ia pun bertanya.
“Ada apa? Apa aku bisa membantumu?”
Rasanya seperti déjà vu. Aku berdebar mendengar suaranya. Bagiku suaranya begitu indah. Aku berusaha menyingkirkan rasa gugup yang menggema. Aku mendongak, menatap wajahnya.
“Aa… aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kelulusan kakak. Permisi,” lalu setelahnya aku pergi. Bisa ku dengar suara kekehan orang-orang di belakangku. Termasuk suara kak Marcus. Ah, aku malu sekali.

*****

Itu terakhir kali aku melihatnya. Namun terakhir kali aku mendengar kabarnya, kini ia sedang melanjutkan study di Perancis tepatnya Paris. Kota yang bagiku adalah kota yang paling indah. Aku sendiri menetap di sini, di kota kelahiranku, California. Tidak ada yang special, tetapi… ketika mengingat senyumnya, entah mengapa kota ini terasa menyenangkan.
Tanpa terasa memikirkannya saja membuatku lupa waktu. Mentari sudah bersembunyi di ufuk barat. Kini sinar cahaya rembulan mulai menyapa seluruh umat. Aku sedang menunggu bintang datang, berharap bintang yang akan tampak lebih bersinar dari bintang-bintang sebelumnya. Aku menyukai setiap bintang yang hadir, karena dengan melihat bintang, aku bisa melihat wajahnya. Wajah kak Marcus.

******

Hari ini jadwal kuliahku tidak begitu padat. Aku langsung pulang ke rumah ketika aku selesai menjalaninya. Beberapa menit yang lalu, papa menelponku dan menyuruhku cepat kembali. Saat sampai di rumah, papa langsung memintaku untuk mengemas barang-barangku. Katanya kami akan ke Paris untuk beberapa waktu.
Aku kaget, tentu saja. Lagipula mengapa tiba-tiba papa bilang kita akan menetap di sana? Ini membingungkan. Tapi aku hanya menuruti. Karena aku anak yang penurut. Aku bergegas menuju kamarku, membenahi semua barang yang hendaknya aku bawa dan memungkinkan sangat aku butuhkan. Setelahnya, aku kembali turun ke bawah dan bergabung dengan papa juga mama.
Sebenarnya aku ingin bertanya, tetapi tidak jadi karena setelahnya papa yang mengatakannya bahwa sepupu papa akan menikah. Aku hanya mengangguk. Dan setelah itu, aku mendatangi kota Paris yang bagiku sangat indah.

*****

Beberapa jam perjalanan aku lewati. Dari benua Amerika ke Eropa itu sangat melelahkan. Entahlah, itu yang aku rasakan. Aku merasa selama perjalanan terasa hampa. Pukul 06.00 pagi aku, mama juga papa baru sampai di bandara Paris. Kami melangkah pelan keluar menuju barisan taksi yang sudah stand by. Tetapi, seseorang memanggil papa. Tentu saja kami berhenti.
“Tuan Dennis?” papa berhenti dan menoleh. Melihat siapa yang memanggilnya dalam bahasa Inggris. Aku lihat alis papa bertaut.
Merasa tak mengenalnya, papa bertanya. “Anda siapa? Dan bagaimana Anda tahu namaku?”
Orang itu tersenyum pada papa. “Tentu, Tuan. Saya Nathan. Saya sahabat dari sepupu Anda. Casey meminta pertolonganku untuk menjemput kalian. Senang bertemu kalian.”
Papa mengangguk. Lalu tersenyum pada orang itu. “Oh, begitu. Yap, senang juga bertemu denganmu.”
Orang itu mengangguk lagi. “So, siap berangkat? Saya rasa Casey sudah menunggu kita. Let’s go.”
Kami menuruti. Orang ini baik sekali, pikirku begitu. Hebatnya paman Casey yang memiliki teman seperti dia. Hem, pasti menyenangkan. Dan hei, tahukah kalian? Paris itu benar-benar indah. Sangat indah. Aku merasa beruntung karena datang ke sini. This country is excellent. Amazed!

*****

Kami sampai di depan rumah yang lumayan megah. Aku memekik dalam hati. Sepupu papa kaya ya? Rumahnya saja besar sekali. Kak Nathan –dia memintaku memanggilnya begitu- masuk terlebih dahulu kemudian kami menyusulnya di belakang. Sambutan hangat kami dapatkan. Paman Casey memeluk papa. Aku hanya tersenyum melihatnya.
Mataku menatap sekekeliling. Entah kenapa rasanya menarik. Interior rumah ini sangat bagus. Baru sekali ini aku bertemu dengan paman Casey. Tentu saja aku sedikit terkejut. Aku lihat, paman Casey mendekatiku. Bertanya padaku.
“Kau kah Chamber? Oh God! You’re really beautiful, baby!” katanya padaku.
Aku hanya tersenyum. Mengingat aku juga ada di kota di mana kak Marcus tinggal, entah mengapa hatiku menghangat. Bisakah, aku bertemu dengannya sekali saja?
“Ya sudah. Kalian istirahat saja dulu. Aku yakin my big brother sangat lelah, ‘kan?”
Papa hanya mengangguk mendengar ucapan paman Casey. Lalu beberapa pelayan paman mengantar kami ke kamar yang sudah di sediakan. Besok, bisa tidak ya aku pergi ke Eiffel? Penasaran sih! Aku baru ingat kalau ada menara itu di Negara ini.

*****

Matahari pagi di sini sangat indah. Baru saja aku membuka mata, lalu keluar menuju beranda, aku sudah di suguhkan pemandangan yang sangat menarik. Memang sih, kalau aku lihat, lokasi rumah sepupu papa ini sangat strategis. Benar-benar keren. Mengingat keinginanku semalam. Entah mengapa aku benar-benar ingin pergi ke Eiffel lalu bertemu dengan kak Marcus. Kalau bisa sih. Tapi…aku tidak yakin.
Cepat-cepat aku memasuki kamar mandi lalu membenahi diri, kemudian turun ke lantai bawah, sarapan dan pamit untuk pergi. Awalnya, kak Nathan menawarkan diri untuk menemaniku. Tetapi aku tidak mau. Entah mengapa aku ingin menjelajah sendiri, setidaknya menikmati berada di sini sebelum kembali ke California. Hm, rasanya seru bukan?

*****

Ternyata benar dugaanku. Paris sangat indah! Ah, kenapa aku tidak pernah kepikiran untuk melanjutkan study di sini? Huh, aku baru tahu ada kota seindah ini. Terlihat di depanku, menara Eiffel berdiri menggapai langit. Berpijak kokoh di atas tanah. Benar-benar kuat.
Aku berjalan mengitari daerah itu. Aku sangat senang. Sangat senang. Namun tak sengaja mataku menangkap siluet tubuh seseorang. Berjalan bersama seseorang di kejauhan. Sosok yang perlahan ku kenali. Ah benar, kak Marcus, dengan seorang perempuan. Apakah perempuan itu adalah kekasihnya?
Aku tak berani menatap ke depan. Pikiranku melayang. Kenapa…hatiku sakit sekali? Apakah ini benar-benar kisah cinta pertamaku? Miris sekali mengingatnya.
Dan ah, benar! Kenapa sekarang aku harus menabrak seseorang? Terjatuh begitu saja. Tanganku bergerak mengusir debu. Meringis sebentar lalu mendongak dan… seketika jantungku berdetak lebih cepat. Kak Marcus, di depanku.
“Kau baik-baik saja?” kudengar ia bertanya dalam bahasa Inggris.
Oh God! Ini benar-benar…
“Sepertinya kita pernah ketemu? Apakah kau… junior yang dulu pernah mengucapkan selamat kepadaku lalu pergi begitu saja?”
Aish! Jantungku makin tak karuan. Tapi… dia ingat soal hal itu?
Aku kembali mendongakkan wajahku dan… tangannya terulur untuk membantuku berdiri. Aku bingung… tapi aku menerimanya. Aku diam tak berbicara apa-apa. Perempuan di sampingnya pun hanya menatap kami.
“Terimakasih ya ucapan selamatnya waktu itu. Lain kali jangan pergi dulu sebelum mendengar respon dari orang yang kau ajak bicara. Okay?”
Aku hanya mengangguk mendengarnya. Aish, memalukan. Bagaimana ini?
“Marcus, aku harus pergi. Sampai jumpa besok, kamu juga ya? Bye,” tiba-tiba perempuan itu berbicara. Denganku juga. Aku semakin terpaku. Dan tinggallah kami berdua. Oh Tuhan!

*****

“Jadi siapa namamu?”
“Eh? K-kenapa?”
“Siapa namamu, nona?”
“Eh, oh, n-namaku Chamberlain Dennis Park,” balasku. Ia hanya mengangguk-angguk tak jelas.
Tidak bosan aku memandang wajahnya. Huh, dia ini… kenapa santai sekali? Aku saja yang di depannya gugup dan lagi…
“Kenapa waktu itu kau langsung pergi, Cham?”
Aku berjengit. Kaget akan pertanyaan itu. “A-ah, i-itu aku…”
“Kenapa kau terbata begitu? Dasar.”
“Maaf kak. Waktu itu, aku sedang terburu-buru.”
“Oh… padahal aku ingin mengajakmu bicara. Haha, jadinya tidak jadi deh.”
“Bicara apa?”
“Aku lupa.”
“Oh begitu.”
Diam, kami diam. Aku memandang secangkir espresso di depanku yang sudah ku minum setengah. Apa dia bisa mendengar jantungku saat ini? Aku benar-benar gugup. Perempuan tadi… siapa ya? Aku jadi ingin bertanya.
Dan lagi, apa yang ingin ia bicarakan? Mengapa aku sangat penasaran? Aku… ingin mengatakannya.
Ku beranikan diri memanggilnya. “Kak…”
“Ya?”
“A-apakah kakak sudah punya…”
“Belum. Dan aku belum ingin. Jadi benar ya? Apa yang dulu mereka katakan. Kau menyukaiku?”
Aish! Jantungku kenapa? Malu sekali tertangkap basah seperti ini?
“Begitu ya. Diam berarti iya loh.”
“Aa… aku…”
“Maaf ya. Tapi kakak belum kepikiran soal itu.”
“Tidak apa-apa. Itu bukan salah kakak juga, kok.”
“Begitu ya? Kau baik sekali.”
“Aa… terimakasih.”
Lalu setelahnya kami memutuskan untuk pergi ke masing-masing arah yang kami tuju. Tuhan, kenapa sulit sekali menggapai dia. bagai bintang jatuh yang sulit di tangkap. Aku tidak peduli kalau pun dia tidak bisa menyukaiku. Tapi setidaknya… biarkan aku kembali bertemu dengannya lagi. Besok… di sini atau di mana pun. Karena melihatnya saja, aku benar-benar bahagia.
Ya, kisah cinta pertama yang tidak indah sama sekali. Tapi… aku menyukainya. Sangat menyukainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar