Bintang
by Umu Humairo
Senja temaran di musim semi menyapa
waktuku. Aku kini tengah duduk termenung dengan khayalan yang tak menentu.
Hanya karena aku merasa… ada yang kurang dari diriku jika mengingat masa
sekolah SMA ku. Pikiranku melayang ke masa lalu. Entahlah, aku merasa aku
merindukan dia. Cowok manis yang sangat baik pada semua orang. Tetapi, entah
mengapa aku tak bisa mendekatinya. Aku takut.
Semua yang aku lakukan saat itu,
mengingatkanku betapa aku menjadi orang yang bodoh. Menyukai kakak kelas yang
tak mungkin mengenal siapa diriku. Tetapi aku berusaha, mengetahui namanya dari
teman-temanku. Rasanya begitu menyenangkan. Marcus, nama yang bagus menurutku.
Aku selalu merindukannya bagai
bintang. Karena setiap bintang tak ada, maka sosoknya pun menghilang. Aku
ingin… dia selalu ada di langit malamku. Aku ingin dia tetap menemaniku
walaupun kita terpisah oleh waktu dan jarak. Terakhir kali yang aku ingat, aku
memberanikan diri menghampirinya di pesta kelulusan di sekolah. Ia terkaget melihatku,
dan aku… menunduk malu.
Aku benar-benar ingat. Apa yang
terjadi waktu itu.
Waktu sudah senja. Pesta kelulusan
yang di hadiri siswa/siswi kelas satu sampai tiga semakin sepi. Banyak
siswa/siswi yang memutuskan pulang ke rumah. Mungkin karena lelah. Aku sendiri,
duduk terdiam di bangku taman sekolah. Mendongak memandang langit yang sewarna
jingga, meneliti apa yang ada di dalamnya.
Pikiranku melayang.
“Kak Marcus… sebentar lagi aku tidak akan
melihatnya,” batinku mulai resah.
Berbagai
keinginan melalu-lalang di dalam pikiranku. Aku berniat menemuinya, setidaknya
mengucapkan selamat atas kelulusannya tapi aku… takut. Ia tidak mengenalku. Ia
tidak pernah tahu siapa aku. Aku bingung harus bagaimana, mengapa kisah cinta
pertamaku sesulit ini?
Namun
dengan keberanian aku beranjak dari dudukku, mencari keberadaannya yang
ternyata ia kini tengah bercengkerama dengan teman-temannya, di dekat parkiran
mobil. Mungkin ia ingin pulang.
Aku
berjalan mendekatinya dengan rasa takut tetapi juga terselip rasa yakin juga
ingin. Sampai akhirnya aku berdiri tepat di depannya. Aku masih menunduk.
Meremas-remas erat pita gaun ku. Aku bisa melihat ia mengernyit melihatku. Lalu
ia pun bertanya.
“Ada
apa? Apa aku bisa membantumu?”
Rasanya
seperti déjà vu. Aku berdebar mendengar suaranya. Bagiku suaranya begitu indah.
Aku berusaha menyingkirkan rasa gugup yang menggema. Aku mendongak, menatap
wajahnya.
“Aa…
aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kelulusan kakak. Permisi,” lalu
setelahnya aku pergi. Bisa ku dengar suara kekehan orang-orang di belakangku.
Termasuk suara kak Marcus. Ah, aku malu sekali.
*****
Itu
terakhir kali aku melihatnya. Namun terakhir kali aku mendengar kabarnya, kini
ia sedang melanjutkan study di Perancis tepatnya Paris. Kota yang bagiku adalah
kota yang paling indah. Aku sendiri menetap di sini, di kota kelahiranku,
California. Tidak ada yang special, tetapi… ketika mengingat senyumnya, entah
mengapa kota ini terasa menyenangkan.
Tanpa
terasa memikirkannya saja membuatku lupa waktu. Mentari sudah bersembunyi di
ufuk barat. Kini sinar cahaya rembulan mulai menyapa seluruh umat. Aku sedang
menunggu bintang datang, berharap bintang yang akan tampak lebih bersinar dari
bintang-bintang sebelumnya. Aku menyukai setiap bintang yang hadir, karena
dengan melihat bintang, aku bisa melihat wajahnya. Wajah kak Marcus.
******
Hari
ini jadwal kuliahku tidak begitu padat. Aku langsung pulang ke rumah ketika aku
selesai menjalaninya. Beberapa menit yang lalu, papa menelponku dan menyuruhku
cepat kembali. Saat sampai di rumah, papa langsung memintaku untuk mengemas
barang-barangku. Katanya kami akan ke Paris untuk beberapa waktu.
Aku
kaget, tentu saja. Lagipula mengapa tiba-tiba papa bilang kita akan menetap di
sana? Ini membingungkan. Tapi aku hanya menuruti. Karena aku anak yang penurut.
Aku bergegas menuju kamarku, membenahi semua barang yang hendaknya aku bawa dan
memungkinkan sangat aku butuhkan. Setelahnya, aku kembali turun ke bawah dan
bergabung dengan papa juga mama.
Sebenarnya
aku ingin bertanya, tetapi tidak jadi karena setelahnya papa yang mengatakannya
bahwa sepupu papa akan menikah. Aku hanya mengangguk. Dan setelah itu, aku
mendatangi kota Paris yang bagiku sangat indah.
*****
Beberapa
jam perjalanan aku lewati. Dari benua Amerika ke Eropa itu sangat melelahkan.
Entahlah, itu yang aku rasakan. Aku merasa selama perjalanan terasa hampa.
Pukul 06.00 pagi aku, mama juga papa baru sampai di bandara Paris. Kami
melangkah pelan keluar menuju barisan taksi yang sudah stand by. Tetapi,
seseorang memanggil papa. Tentu saja kami berhenti.
“Tuan
Dennis?” papa berhenti dan menoleh. Melihat siapa yang memanggilnya dalam
bahasa Inggris. Aku lihat alis papa bertaut.
Merasa
tak mengenalnya, papa bertanya. “Anda siapa? Dan bagaimana Anda tahu namaku?”
Orang
itu tersenyum pada papa. “Tentu, Tuan. Saya Nathan. Saya sahabat dari sepupu
Anda. Casey meminta pertolonganku untuk menjemput kalian. Senang bertemu
kalian.”
Papa
mengangguk. Lalu tersenyum pada orang itu. “Oh, begitu. Yap, senang juga
bertemu denganmu.”
Orang
itu mengangguk lagi. “So, siap berangkat? Saya rasa Casey sudah menunggu kita.
Let’s go.”
Kami
menuruti. Orang ini baik sekali, pikirku begitu. Hebatnya paman Casey yang
memiliki teman seperti dia. Hem, pasti menyenangkan. Dan hei, tahukah kalian?
Paris itu benar-benar indah. Sangat indah. Aku merasa beruntung karena datang
ke sini. This country is excellent.
Amazed!
*****
Kami
sampai di depan rumah yang lumayan megah. Aku memekik dalam hati. Sepupu papa
kaya ya? Rumahnya saja besar sekali. Kak Nathan –dia memintaku memanggilnya
begitu- masuk terlebih dahulu kemudian kami menyusulnya di belakang. Sambutan
hangat kami dapatkan. Paman Casey memeluk papa. Aku hanya tersenyum melihatnya.
Mataku
menatap sekekeliling. Entah kenapa rasanya menarik. Interior rumah ini sangat
bagus. Baru sekali ini aku bertemu dengan paman Casey. Tentu saja aku sedikit
terkejut. Aku lihat, paman Casey mendekatiku. Bertanya padaku.
“Kau
kah Chamber? Oh God! You’re really beautiful, baby!” katanya
padaku.
Aku
hanya tersenyum. Mengingat aku juga ada di kota di mana kak Marcus tinggal,
entah mengapa hatiku menghangat. Bisakah, aku bertemu dengannya sekali saja?
“Ya
sudah. Kalian istirahat saja dulu. Aku yakin my big brother sangat lelah, ‘kan?”
Papa
hanya mengangguk mendengar ucapan paman Casey. Lalu beberapa pelayan paman
mengantar kami ke kamar yang sudah di sediakan. Besok, bisa tidak ya aku pergi
ke Eiffel? Penasaran sih! Aku baru ingat kalau ada menara itu di Negara ini.
*****
Matahari
pagi di sini sangat indah. Baru saja aku membuka mata, lalu keluar menuju
beranda, aku sudah di suguhkan pemandangan yang sangat menarik. Memang sih,
kalau aku lihat, lokasi rumah sepupu papa ini sangat strategis. Benar-benar
keren. Mengingat keinginanku semalam. Entah mengapa aku benar-benar ingin pergi
ke Eiffel lalu bertemu dengan kak Marcus. Kalau bisa sih. Tapi…aku tidak yakin.
Cepat-cepat
aku memasuki kamar mandi lalu membenahi diri, kemudian turun ke lantai bawah,
sarapan dan pamit untuk pergi. Awalnya, kak Nathan menawarkan diri untuk
menemaniku. Tetapi aku tidak mau. Entah mengapa aku ingin menjelajah sendiri,
setidaknya menikmati berada di sini sebelum kembali ke California. Hm, rasanya
seru bukan?
*****
Ternyata
benar dugaanku. Paris sangat indah! Ah, kenapa aku tidak pernah kepikiran untuk
melanjutkan study di sini? Huh, aku baru tahu ada kota seindah ini. Terlihat di
depanku, menara Eiffel berdiri menggapai langit. Berpijak kokoh di atas tanah.
Benar-benar kuat.
Aku
berjalan mengitari daerah itu. Aku sangat senang. Sangat senang. Namun tak
sengaja mataku menangkap siluet tubuh seseorang. Berjalan bersama seseorang di
kejauhan. Sosok yang perlahan ku kenali. Ah benar, kak Marcus, dengan seorang
perempuan. Apakah perempuan itu adalah kekasihnya?
Aku
tak berani menatap ke depan. Pikiranku melayang. Kenapa…hatiku sakit sekali?
Apakah ini benar-benar kisah cinta pertamaku? Miris sekali mengingatnya.
Dan
ah, benar! Kenapa sekarang aku harus menabrak seseorang? Terjatuh begitu saja.
Tanganku bergerak mengusir debu. Meringis sebentar lalu mendongak dan… seketika
jantungku berdetak lebih cepat. Kak Marcus, di depanku.
“Kau
baik-baik saja?” kudengar ia bertanya dalam bahasa Inggris.
Oh God!
Ini benar-benar…
“Sepertinya
kita pernah ketemu? Apakah kau… junior yang dulu pernah mengucapkan selamat
kepadaku lalu pergi begitu saja?”
Aish!
Jantungku makin tak karuan. Tapi… dia ingat soal hal itu?
Aku
kembali mendongakkan wajahku dan… tangannya terulur untuk membantuku berdiri.
Aku bingung… tapi aku menerimanya. Aku diam tak berbicara apa-apa. Perempuan di
sampingnya pun hanya menatap kami.
“Terimakasih
ya ucapan selamatnya waktu itu. Lain kali jangan pergi dulu sebelum mendengar
respon dari orang yang kau ajak bicara. Okay?”
Aku
hanya mengangguk mendengarnya. Aish, memalukan. Bagaimana ini?
“Marcus,
aku harus pergi. Sampai jumpa besok, kamu juga ya? Bye,” tiba-tiba perempuan
itu berbicara. Denganku juga. Aku semakin terpaku. Dan tinggallah kami berdua.
Oh Tuhan!
*****
“Jadi
siapa namamu?”
“Eh?
K-kenapa?”
“Siapa
namamu, nona?”
“Eh,
oh, n-namaku Chamberlain Dennis Park,” balasku. Ia hanya mengangguk-angguk tak
jelas.
Tidak
bosan aku memandang wajahnya. Huh, dia ini… kenapa santai sekali? Aku saja yang
di depannya gugup dan lagi…
“Kenapa
waktu itu kau langsung pergi, Cham?”
Aku
berjengit. Kaget akan pertanyaan itu. “A-ah, i-itu aku…”
“Kenapa
kau terbata begitu? Dasar.”
“Maaf
kak. Waktu itu, aku sedang terburu-buru.”
“Oh…
padahal aku ingin mengajakmu bicara. Haha, jadinya tidak jadi deh.”
“Bicara
apa?”
“Aku
lupa.”
“Oh
begitu.”
Diam,
kami diam. Aku memandang secangkir espresso di depanku yang sudah ku minum
setengah. Apa dia bisa mendengar jantungku saat ini? Aku benar-benar gugup.
Perempuan tadi… siapa ya? Aku jadi ingin bertanya.
Dan
lagi, apa yang ingin ia bicarakan? Mengapa aku sangat penasaran? Aku… ingin
mengatakannya.
Ku
beranikan diri memanggilnya. “Kak…”
“Ya?”
“A-apakah
kakak sudah punya…”
“Belum.
Dan aku belum ingin. Jadi benar ya? Apa yang dulu mereka katakan. Kau
menyukaiku?”
Aish!
Jantungku kenapa? Malu sekali tertangkap basah seperti ini?
“Begitu
ya. Diam berarti iya loh.”
“Aa…
aku…”
“Maaf
ya. Tapi kakak belum kepikiran soal itu.”
“Tidak
apa-apa. Itu bukan salah kakak juga, kok.”
“Begitu
ya? Kau baik sekali.”
“Aa…
terimakasih.”
Lalu
setelahnya kami memutuskan untuk pergi ke masing-masing arah yang kami tuju.
Tuhan, kenapa sulit sekali menggapai dia. bagai bintang jatuh yang sulit di
tangkap. Aku tidak peduli kalau pun dia tidak bisa menyukaiku. Tapi setidaknya…
biarkan aku kembali bertemu dengannya lagi. Besok… di sini atau di mana pun.
Karena melihatnya saja, aku benar-benar bahagia.
Ya,
kisah cinta pertama yang tidak indah sama sekali. Tapi… aku menyukainya. Sangat
menyukainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar